Selain cinta hal
yang tak terdefinisi lainya adalah puisi. Puisi telah menjelma sosok yang susah
diidentifikasi. Semua bisa dikatakan puisi, baik puisi yang ditulis di antologi
puisi, koran maupun sekadar ocehan twitter. Kalau seperti ini, maka keberadaan
puisi dapat di mana saja dan kapan saja. Produktivitas puisi yang dihasilkan
para “penyair” ini telah menembus batas ruang dan batas apresiasi.
Namun, ketika
puisi-puisi ini semakin populer, justru puisilah yang kehilangan nyawa.
Puisi-puisi yang dilahirkan oleh para penyair sungguhan kalah seketika oleh
para penyair twitter yang luar biasa produktivitasnya. Maka wajar saja ketika
Joko Pinurbo menerbitkan “puitwit”, yaitu puisi-puisi yang tak lebih dari 140
karakter dan melalui media twitter. Puitwit tetap tak kehilangan dayanya walau
hanya diungkap tak lebih dari 140 karakter. Mungkin ini sesuai dengan ciri khas
puisi yaitu pemadatan makna dalam kata.
Di sisi lain, masyarakat
semakin tak tertarik membaca puisi di koran, apalagi yang dibukukan. Jarang
sekali antologi puisi yang bisa terbit ulang hingga puluhan kali, bahkan untuk
menghabiskan stok terbitanya, para penyair mengobral puisi ke mana-mana. Ironi
bukan? Ketika puisi di twitter populer justru puisi “asli” menjadi semakin
tidak populer.
Oleh karena itu
muncul sebuah anggapan bahawa puisi tak boleh terhenti pada naskah. Puisi harus
menjelma ke bentuk lain. Puisi harus mengubah dirinya menjadi sosok yang
menarik untuk dinikmati. Puisi harus mendatangi masyarakat, bukan masyarakatlah
yang mendatangi puisi. Intinya bagaimana membuat puisi menjadi semenarik
mungkin untuk dikemas menjadi sajian yang menarik tanpa mengotori hakikat
puisi.
Oleh karena itu,
munculah berbagai sajian puisi, seperti musikalisasi puisi, teatrikalisasi
puisi, sinematisasi puisi. Hal ini dilakukan semata-mata agar puisi lebih
menarik dinikamati tanpa mengotori hakikat puisi. Puisi yang biasanya terhenti
pada naskah, harus segera menjelma dalam bentuk lain jika tidak ingin hilang di
telan bumi. Namun, produktivitas musikalisai puisi, teatrikalisasi puisi dan
sinematisasi puisi belum bisa mengimbangi dengan produktivitas jumlah puisi
yang membludak.
Deklamator
menjadi alternatif yang paling mudah untuk melampiaskan hasrat berpuisi. Tentu
saja kemampuan berdeklamasi bukanlah kemampuan yang mudah. Puisi tidak sekadar
dibacakan tetapi juga dikomunikasikan dengan cara yang sakral. Deklamator bisa
mnyajikan jutaan puisi dengan caranya. Ini bisa mengimbangi produktivitas puisi
yang berlebihan.
Ibarat pencipta
lagu dan penyanyi, begitu pula penyair dan deklamator. Sebuah lagu dapat
terkenal “lagunya” jika dibawakan oleh penyanyi yang tepat. Sebuah puisi dapat
pula terkenal “puisinya” jika dibawakan oleh deklamator yang andal. Tentu saja
keadaan ini harus disertai eksistensi panggung-panggung pertunjukan puisi yang
harus sering dimunculkan.
Jadi,
puisi yang semakin tidak diminati harus menjelma ke dalam bentuk sajian yang
punya daya pukau luar biasa. Ini strategi termudah agar puisi dapat kembali
diminati secara sakral. Sajian-sajian puisi haruslah tidak merusak hakikat
puisi selama ini. Musikalisai puisi, teatrikalisasi puisi, sinematisasi puisi dll,
dapat saja menjadi solusi, tapi tugas para deklamator inilah yang harus
menjadikan puisi syahdu untuk dinikmati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar