Jumat, 17 Oktober 2014

Cerita-Cerita Orang Tua



“Jika kau lupa cara bangun di pagi hari,
Tanam saja pohon ini Nak,
Konon, jika kau merawat pohon ini, ia akan merawatmu pula.
Siramlah setiap hari, kalau daunnya diserang hama, kau cukup membersihkannya.
Setelah besar dan rindang, pohon ini akan membawa anak kecil datang,
Baik itu anakmu atau anak-anakmu.
Mereka bermain tentang tembang yang diajarkan, atau permainan yang tak jelas siapa yang menang.
Jika panas, tentu mereka akan berteduh dibawahnya dan kamu menemaninya terlelap.
Jika hujan, mereka akan masuk ke rumahmu dan bercerita tentang asyiknya pohon itu.
Suatu hari, pohon itu akan menyebarkan biji-biji baru,
Anak-anakmu yang nantinya menanamnya, merawatnya dan menghasilkan anak-anak yang sama.

Ini nasehatku, jika kamu lupa cara bangun di pagi hari,
Sesekali datanglah ke pohon itu, bermain gangsing atau klereng kesukaanmu,
Kemudian kamu cari nama ibumu di sela-sela kulit pohon itu.
Aku menuliskannya di situ,”




Catatan : Puisi ini dimuat dalam buku kumpulan puisi "Syair Hijau" Universitas Negeri Semarang.

Kamis, 16 Oktober 2014

JAMAAH


Begini lho kang? Kalau dasarnya beda, hasilnya pun akan beda? Coba jenengan bandingkan, cewek seksi itu yang seperti apa? Yang pakai baju ketat, atau yang pakai baju minim? Semua orang punya definisinya sendiri Kang,” ucap Tarno.
Kami berdua sedang membicarakan fatwa-fatwa yang disampaikan beberapa ulama. Memang, Kang Tarno adalah lulusan pondok pesantren terkemuka di Jombang. Sedangkan saya lulusan Madrasah Ibtidaiyah tingkat desa. Mentok-mentoknya saya ngaji Taklim Mutaalim. Lha Kang Tarno, konon sudah ngaji ribuan kitab.
Perawakan kang Tarno sih biasa saja, tidak sok santri, dan tidak juga sok alim, tapi kalau bicara urusan agama, dia jagonya. Wong, dia itu istilahnya kyai yang belum dilantik masyarakat. Begini ceritanya, di desa kami tak banyak warga yang lulusan pesantren. Paling-paling ngaji dari madrasah ibtidaiyah saja. Stok kyai di desa kami pun tak banyak, Cuma ada kyai Marjo dan Kyai Komari. Mushola Cuma satu, dan masjid numpang ke desa tetangga.
“Kalau pendapat saya gini Kang, dosa atau tidak dosa itu bergantung pada pikiran dan urusan Allah. Bakalan repot kalau yang menjustifikasi dosa itu para ulama. Kalau ulamanya bener ya nggak apa-apa, lha kalau ulamanya itu alat politik? Bisa-bisa cuma gara-gara nggak nyoblos, dikatakan masuk neraka,” imbuh Kang Tarno.
Jadi ceritanya dimulai ketika Pak RT bingung mencari kyai untuk Imam Musola. Kyai Marjo mendapat jatah ngimami hari Senin, Selasa, dan Rabu. Sedangkan Kyai Komari mendapat jatah hari Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Nah, akhir-akhir ini Kyai Marjo sakit-sakitan, sudah sebulan dia di rumah sakit. Dan sudah sebulan pula perdebatan siapa yang layak menggantikan Kyai Marjo mulai panas di desa kami. Warga merasa tak ada yang pantas menggantikan Kyai Marjo. Kandidatnya ya cuma satu, Kang Tarno (Nama lengkapnya Sutarno, kelahiran 1985).
>>>>>> 
“Kang, saya rasa si Tarno kok belum pantas jadi Kyai di kampung kita ini, wong tampangnya saja nggak Ngiyai,” ucap Kang Darso
“Wah, tapi siapa lagi Kang, yang mau jadi kyai? Cuma dia satu-satunya putra daerah desa ini yang pernah mondok sampai Jombang,” Timpal Jimin.
“Asalamualaikum waraomatullahiwabarokatuh” terdengar suara Pak RT mengawali rapat warga kali ini. Kemudian Pak RT, melanjutkan,
“Bapak-Bapak yang saya hormati, langsung saja nggeh. Sengaja saya kumpulkan bapak-bapak di rumah saya untuk membahas pengganti Kyai Marjo yang mungkin umurnya takkan lama. Hehe. Begini, sebelum kita bahas panjang, bapak-bapak yang saya undang di sini merupakan orang-orang pilihan. Jadi memang tak semua warga saya undang, hanya warga yang saya anggap berpengaruh saja yang saya undang. Nah, saya Tanya apakah di antara bapak-bapak yang ada di sini ada yang bersedia jadi imam musola menggantikan kyai Marjo?”
“Loh, kok malah pada nggrundel sendiri, saya Tanya lagi, apakah di antara bapak-bapak yang ada di sini ada yang bersedia jadi imam musola menggantikan kyai Marjo?”
Suasana hening sejenak, semua orang yang di sana Cuma diam dan saling pandang.
“Begini Pak, kita voting saja, siapa kandidatnya dan kita pilih, dan selesai,” Cetus seorag warga.
“Wah, jangan gitu pak, Negara kita itu Negara pancasila, inget dong sila ke empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permussssyyawraatan perwakilan. Kita itu perwakilan warga, harus diselesaikan secara musyawarah” Cetus warga lainya.
“Siapa kandidatnya, wong nggak ada yang berani maju jadi kandidat, Cuma si Tarno saja yang kira-kira pantas jadi Kyai,” imbuh warga lain.
“Begini saja Pak, kalau memang dari warga nggak ada yang berani maju dan Cuma Tarno satu-satunya, bagaana kalau kita tes saja si Tarno, dia layak tidak jadi Kyai desa ini?”
“Wah, gimana caranya Kang, siapa yang mau ngetes, kyai Komari? Dia pasti nggak mau, wong kyai Komari ya sebenarnya nggak pinter-pinter amat,”
“Loh Kang, jangan katro Jenengan, di zaman yang canggih ini, semua bisa di tes, gampang caranya, nanti tak carikan soal-soal tentang keagamaan di internet, mau yang gimana? Pilihan ganda? Esai? Atau portofolio?, gitu aja kok repot,”
“Begini Kang, saya usul jangan Cuma dites pengetahuanya saja, tapi dites juga cara dia solat. Intinya adakan tes Pratik juga, Bagaimana?”
“Wah, boleh juga itu Kang, nanti kita lihat apakah gerakan si Tarno pas takbir, rukuk, sujud dan lainnya sudah sempuran atau belum,”
“Lah, cara tau gerakanya sempurna gimana Kang, kita kan nggak tau,”
“oh, santai kang, nanti tak sercing di yutub gerakan solatnya, mau pakai yang mana? Versi Arab Saudi, Irak, Iran, Turki, atau Mesir?, setelah itu kita tonton bersama, dihafalkan dan dicocokan dengan gerakannya si Tarno,”
“Wah, kalau begitu kita bagi tugas saja Kang, siapa yang menyiapkan tes pengetauanya, siapa yang menghafalkan gerakan solat yutubnya, kalau perlu satu orang hanya menghafal satu gerakan, misal si Darso pas takbir, si Yanto pas sujud, gitu kang,”
“Baiklah Bapak-Bapak, karena kesepakatan sudah tercapai, kita tentukan saja tanggalnya kapan? Kira-kira kita perlu meyiapkan tes ini berapa lama? Seminggu cukup?” Seru Pak RT.
“Cukuuuuuoooppppp” serentak warga.
Tiba-tiba, kang mujimin datang, “Maaf, Kang, saya telat datang”
“Kenapa telat Kang?” Tanya pak RT.
“Baru Solat di Musoala Kang, diimami Tarno, banyak kok tadi yang jamaah?”

Rabu, 17 September 2014

Bacalah dengan Puitis!



Beberapa minggu lalu, saya menjadi juri lomba “Puitisasi Alquran”. Pada mulanya saya mengira bahwa ini lomba tulis puisi yang terinspirasi dari ayat Alquran. Namun panitia mengatakan ini lomba baca puisi. Saya mengiyakan tanpa banyak tanya tentang teknis lomba (karena saya sudah pengalaman teknis lomba baca puisi). Sesampainya di tempat lomba, ternyata peserta lombanya adalah “santri” Madrasah Diniyah se-Kabupaten Kendal. Lalu, saya bertanya kepada panitia materi puisi yang dijadikan lomba. Namun, panitia tidak menyediakannya. Katanya materi puisi dibawa sendiri oleh peserta. Sampai pada titik ini, akhirnya saya bertanya tentang format lomba “Puitisasi Puisi” ini. Ternyata ini adalah lomba membaca terjemah Alquran (sari tilawah) dengan pembacaan yang puitis. Karena saya tidak ingin repot-repot tentang penggunaan istilah “Puitisasi Alquran”, saya mengiyakan untuk langsung saja lomba dilaksanakan.
Peserta pertama tampil dengan membaca terjemah surat Al-Zalzalah. Dengan perhatian penuh, saya menikmati pembacaan seorang anak yang umurnya taklebih dari 10 tahun. Ia membaca dengan lantang dan artikulasi yang jelas. Peserta kedua membaca terjemah surat Al-Alaq. Kali ini ia membaca dengan nada yang halus, penuh penjiwaan, dan fokus mata yang luar biasa. Keterpukauan saya ini berlanjut sampai peserta selanjutnya.
            Lomba ini menyadarkan saya bahwa apapun bisa dibaca secara estetis puitis. Sari tilawah yang selama ini dibaca secara “biasa” kali ini ditampilkan secara puitis dan estetis. Saya nyatakan ini “GILA”. Bayangkan, yang dibacakan oleh mereka adalah firman Allah SWT. Menurut saya sebuah firman harus dibaca secara syahdu agar kesan yang muncul pun “khusuk”. Namun anggapan saya ini terbantahkan oleh saya sendiri. Ternyata cara pembacaan sari tilawah yang “seperti ini” mempunyai efek yang lebih dahsyat dari pada sekadar dibaca biasa.
            Berdasarkan pengetahuan saya tentang seni baca puisi, yang terpenting dalam sebuah seni pertunjukan puisi adalah ketersampaian pesan. Keteresampaian pesan ini dapat dilakukan dengan teknik produksi suara, kelantangan suara, artikulasi, intonasi, dan teknik bina klimaks-klimaks. Semua teknik itu akan membangun suasana agar pesan dapat tersampaikan secara sempurna.
            Nah, “Puitisasi Alquran” ini mempunyai efek tonjok yang luar biasa. Bayangkan ketika seoarang anak kecil membaca Al-zalzalah (kegoncangan) “Apabila bumi digoncangkan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya, dan manusia bertanya mengapa bumi jadi begini? Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan yang seperti itu kepadanya, pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” Q.S Al-Zalzalah 1-6.
            Saya teringat pada “Tadarus” Gus Mus, yang hampir sama menyajikan ayat-ayat alquran dalam bentuk pertunjukan puisi yang sangat menyentuh. Masih juga teringat jelas, Nana Rhiski Susanti, (17 Agustus 2010) membaca pembukaan UUD 1945 dengan gaya puitis. Kalian tahu? Efeknya juga luar biasa. Memang terdengar aneh bagi beberapa orang, tetapi disadari atau tidak, mereka menyimak sepenuhnya dari awal pembacaan sampai akhir. Ini mungkin saja tidak terjadi jika pembukaan UUD 45 dibacakan secara “kaku” seperti biasa, bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
Pada titik ini saya sepenuhnya sadar bahwa semua bisa dibaca secara puitis. Iya, Semua! Firman tuhan saja bisa, kenapa tidak dengan karya manusia? Jika kalian sudah bosan dengan pembacaan teks pancasila yang begitu saja, atau jika kalian suntuk dengan pembacaan pembukaan UUD 45, kalian boleh memodifikasi sajiannya. Asalkan, pesan (makna/maksud) tersampaikan dengan sempurna!

Label

Cerpen (1) puisi (5)