Karya sastra
mempunyai sifat menghibur dan bermanfaat. Sifat itulah yang membuat karya
sastra selalu digemari dari dulu sampai sekarang. Baik puisi, cerpen, maupun
novel selalu mempunyai tempat tersendiri di tengah masyarakat yang selalu
berubah-ubah.
Selain itu,
sifat utama sastra adalah memberi kebebasan kepada pembacanya untuk
menginterpretasikan kata, makna, amanat, dll. yang terdapat dalam puisi,
cerpen, maupun novel. Sesorang tak bisa menyalahkan sepenuhnya interpretasi
seseorang terhadap karya sastra yang dibacanya. Hanya saja ada rambu-rambu agar
pembaca dapat memahami karya satra secara benar.
Puisi termasuk
bagian dari karya sastra yang mempunyai penggemar yang cukup besar. Setiap
orang bisa menjadi penyair puisi. Begitupun sebaliknya, seseorang bisa membaca
puisi tanpa ada batasan interpretasi. Banyaknya minat dan produksi puisi yang
berjuta-juta tersebut menandakan bahwa puisi adalah karya sastra yang sangat
digemari dari semua kalangan. Hal inilah yang menasbihkan puisi sebagai karya
satra yang paling konsisten digemari sepanjang masa.
Konsistensi
sastra (termasuk puisi) ini berlanjut dalam dunia pendidikan. Pendidikan
Indonesia telah memasukan sastra dalam acuan pembelajaran yang harus diajarkan
kepada siswa (standar kompetensi dan kompetensi dasar). Siswa dituntut untuk
menguasai ketrampilan bersastra, baik berekspresi mapun mengapresiasi.
Sebagaimana
diketahui bahwa puisi mempunyai dua hakikat. Hakikat pertama seseorang yang
membaca puisi bebas meinterpretasikan makna yang terkadung di dalamnya. Hakikat
kedua, kata dalam puisi hakikatnya adalah pemadatan (konsentrif), artinya
sebuah kata dalam puisi mempunyai makna multitafsir. Hal ini menimbulkan dilema
dalam dunia pendidikan terutama dalam hal apresisasi puisi.
Alat evaluasi
pembelajaran apresisai puisi (walau tidak seluruhnya) menggunakan sistem
pilihan ganda. Soal-soal seperti ini menyajikan sepotong puisi dan menyoalkan
interpretasi siswa. Hal ini menimbulkan masalah baru, siswa dituntut memilih
satu dari lima pilihan jawaban yang sangat mirip satu sama lain. Padahal siswa
bisa saja memahami puisi tersebut dengan cara berbeda, dan mungkin hasil
interpretasinya tidak sama dengan salah satu pilihan jawaban. Kalaupun ada yang
sama dengan pilihan jawaban, belum tentu jawaban yang dipilihnya “benar”
menurut kunci jawaban soal.
Dari keadaan
seperti ini sebetulnya bagaimanakah alat evaluasi pembelajaran apresiasi puisi
yang tepat untuk diterapkan di dunia pendidikan Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar