Minggu, 13 Februari 2011

Malu?

Nasionalisme? Masih adakah dalam jiwa anak-anak bangsa? Pertanyaan itulah yang sekarang membutuhkan jawaban yang jujur dari hati nurani kita masing-masing. Bukan dijawab dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang benar. Bahkan para pengamat menilai rasa cinta tanah air di kalangan masyarakat luas hingga pemimpin bangsa sudah menurun, hal ini disebabkan karena aspek kebudayaan bangsa Indonesia yang lemah.
Kebudayaan yang seharusnya kita junjung tinggi dan harus dilestarikan perlahan mulai kita lupakan, tergantikan dengan kecanggihan zaman. Anak-anak kecil tak lagi main petak umpet, grobag sodor, belajar membatik, belajar menari daerah dan kesenian daerah lainya. Mereka lebih memilih play station, les balet, dance, dan wahana ceria seperti dunia fantasi. Para remaja kita tak mau lagi bersentuhan dengan batik ataupun kebaya. Mungkin masih ada, tapi jumlah itu sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.
Lalu mengapa kita sekarang berteriak-teriak lantang namun tak memberikan hasil apa-apa ketika angklung, batik, reog ponorogo, bahkan tempe dipamerkan malaisia dihadapan dunia dan diklaim sebagai identitas Malaysia. Apakah kita selama ini bangga dengan kebudayan kita, apakah kita lebih memilih tempe dari pada burger atau pizza? Apakah kita lebih memilih batik dan kebaya dari pada tang-top atau celana jeans? Atau kita lebih memilih menari jaipong dari pada nge-dance? Lali mengapa kita harus marah karena hal itu?
Mungkinkah rasa nasionalisme kita akan bangkit kembali atau kita mulai sadar akan kesalahan kita. Kebudayaan gotong royong, bersatu padu muncul kembali dalam protes atas pengklaiman kebudayaan yang kita “rasa” miliki. Sebaiknya kita berbenah diri untuk menuju gerbang baru, lembaran naru dari suatu perjalanan hidup bangsa kita setelah merdeka, merdeka yang riil bukan abstraksi belaka.

jangan lupa koment ya,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Cerpen (1) puisi (5)