Minggu, 13 Februari 2011

BAHASA INDONESIA SEBAGAI PONDASI DASAR PEMERTAHANAN BUDAYA BANGSA INDONESIA

Salah satu masalah utama dalam bidang kebudayan adalah masalah identitas kebangsaan. Dengan derasnya arus globalisasi dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya bangsa indonesia agar menjadi bagian integratif dalam pergaulan remaja indonesia. Beberapa hal yang termasuk budaya diantaranya adalah bahasa. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengemukakan pentingnya menjadikan bahasa indonesia sebagai pondasi dasar dalam pemertahanan budaya bangsa. Hal ini dilakukan sebagai perlaawanan untuk mencegah istilah-istilah asing yang dapat merusak kaidah bahasa indonesia. Pada akhirnya, bahasa Indonesia sebagai pondasi dasar dalam pemertahanan budaya bangsa diharapkan akan mengimbangi pengaruh bangsa asing yang semakin mewabah di masyarakat kita.
Kata kunci : bahasa Indonesia, budaya bangsa, identitas
I. Pendahuluan
Disaat kita benar benar marah karena banyak ragam budaya Indonesia yang diklaim bangsa lain, kita malah melupakan salah satu universal culture, yaitu bahasa. Terkadang orang-orang lebih mementingkan wujud budaya yang berupa benda atau yang dapat dilihat. Sedangkan wujud budaya yang tidak berwujud, seperti bahasa, dipandang sebelah mata. Bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Dengan menujukan bahasanya orang lain dapat mengenal kita dari mana berasal.
Apakah bahasa menunjukkan budaya? Logika akan menjawab, ya. Dasar pemikirannya adalah, pertama, bahasa itu alat ekspresi pemakainya. Ekspresi itu muncul karena ada dasar pengetahuan, sikap, dan minat, yang kemudian diolah oleh cara berpikir penggunanya. Dengan demikian, bahasa sebagai media pengekspresi akan diwarnai oleh pengetahuan, sikap, minat, dan cara berpikir pemakainya.
Pengetahuan akan mengisi makna, sikap dan minat akan menentukan pilihan kata, dan cara berpikir akan mengatur strategi berbahasa.
Logika di atas pada intinya menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan seseorang bisa menunjukkan siapa seseorang itu. Tetapi apakah itu berarti bahasa suatu bangsa bisa merepresentasikan budaya bangsa itu ?

II. Campur kode dan alih kode bahasa Indonesia VS bahasa inggris

Bahasa memang berkembang sesuai dengan dinamisnya keadaan masyarakat pemakai bahasa. Dalam hal ini, adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia semakin lama semakin berkembang. Hal ini adalah dampak dari kemajuan teknologi, dan factor lain yang mempengaruhinya. Perkembangan bahasa Indonesia sangat cepat, setiap hari banyak sekali kosa kata asing yang masuk dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mempunyai sifat dapat menyerap bahasa asing dan menjadikanya bahasa Indonesia. Maka dari itulah muncul kosa kata asing yang dipakai dalam masyarakat.
Banyak sekali orang yang mencampur adukan antara bahasa Indonesia dengan kosa kata bahasa inggris. Contoh :
“Bro, dinner yuk,,”
“kamu sudah download file yang ini?”
“entar kalau sudah pasti, langsung confirm ya,,”
“setelah ini kita mau chek-in di hotel”
Masih banyak contoh yang lainya. Terlihat juga dalam pemakaian bahasa Indonesia ragam resmi tidak digunakan secara baik. Kata “entar” sebenarnya bukan kata baku bahasa Indonesia, namun kata ini telah popular dipakai oleh penutur bahasa. Kosa kata-kosa kata asing itu digunakan karena seseorang lebih familiar dara pada kosa kata bahasa Indonesia yang ada. Di samping itu ada kesan gengsi tersendiri bila menggunakan kosa kata inggris.
Suatu hal yang sangat ironi, ketika bangsa lain berusaha mempelajari bahasa Indonesia, kita malah kita malah merusak bahasa kita sendiri. Di Australia, bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran tambahan. Di sana diajarkan bahasa Indonesia yang baku, dan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang penulis takutkan, ketika mereka terjun ke Indonesia langsung, mereka akan terkejut bahwa bahasa Indonesia berkembang campur aduk.

III. Dampak dari gejala ini?
Ada dua dampak dari perkembangan dan penyerapan bahasa asing ini, dampak positif dan dampak negative. Dampak positifnya meliputi dua hal. Pertama, dengan gejala bahasa ini bahasa Indonesia semakin kaya dengan kosa kata baru. Dengan kosa kata baru ini, (kedua) maka bahasa Indonesia dapat mengikuti perkembangan jaman dunia, baik dalam teknologi maupun ilmu pengetahuan. Masyarakat penutur bahasa Indonesia juga akan dapat mengerti jika kosa kata tersebut digunakan. Dengan semakin banyaknya kosa kata bahasa Indonesia, maka semakin kayanya bangsa kita.
Dampak negatifnya juga meliputi dua hal. Pertama dengan berkembang dan semakin bertambah kosa kata kita, maka terkadang masyarakat penutur bahasa lebih sering menggunakan kosa kata baru. Dampak dari hal itu, tatanan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan terusak denagn sendirinya tanpa disadari. Terkadang kosa kata yang telah ada dalam bahasa Indonesia diabaikan, dan memilih menggunakan istilah asung untuk mengungkapkanya. Susunan kalimatnya pun akan berubah dengan sendirinya. Kerusakan tatanan bahasa ini juga dipengaruhi oleh beragamnya bahasa daerah yang melatar belakangi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Terkadang mereka memakai tata bahasa daerah untuk diucapkan dalam bahasa Indonesia.

IV. Bagaimana mengatasinya?
Caranya adalah Santun Berbahasa. Kalau bahasa mencerminkan budaya, atau setidaknya cara berbahasa kita mencerminkan siapa sebenarnya kita, maka satu-satunya cara menjaga ‘kehormatan’ diri kita dari sisi yang berkaitan dengan bahasa adalah berusaha selalu santun dalam berbahasa.
Setidaknya ada tiga santun yang bisa kita rumuskan sebagai implikasi kesimpulan di atas. Tiga santun itu adalah, santun dalam mengisi makna bahasa yang kita tuturkan; santun dalam memilah dan memilih diksi sesuai dengan konvensi konteks; serta santun dalam mengatur strategi bertutur.
Santun yang pertama bertumpu pada aspek kognitif, pada keluasan wawasan dan kedalaman pemahaman tentang sesuatu yang kita bicarakan. Santun dalam konteks ini akan mampu menghasilkan bahasa yang bernas, atau menurut istilah Prof. Yus Rusyana, ‘bahasa yang bergizi’. Setiap lawan bicara akan mendapat manfaan dari apa yang kita ucapkan. Pepatah yang mengatakan,” Orang bijak akan berpikir seribu kali untuk berbicara sekali, sedangkan orang sesat akan berbicara seribu kali hanya dengan berpikir sekali.” Atau bunyi hadits yang menyatakan “Diam itu emas, dan bicara benar itu perak” sangat relevan dengan santun pertama ini.
Santun yang kedua bertumpu pada aspek afektif, pada kepekaan menghayati nilai-nilai moral dan konvensi etika ketika berbahasa. Orang yang mampu santun dalam aspek ini akan membuat lawan bicaranya nyaman ketika berkomunikasi, tidak ada rasa takut, tersinggung, atau takut dipermalukan. Tiap daerah, tiap wilayah, tiap komunitas, bahkan tiap individu memiliki keunikan dalam memahami nilai-nilai moral dan etika berbahasa. Keberagagam ciri khas tersebut menuntut kepekaan kita dalam membaca bahasa isyarat selain bahasa literal, makna tersirat selain makna tersurat. Pola bertutur bangsa kita yang lebih senang berputar-putar sebagaimana dikemukakan Kaplan di atas, sebenarnya merupakan kesantunan afektif yang diwariskan para leluhur kita. Pola itu sengaja dibuat untuk menciptakan kenyamanan dalam berkomunikasi, menjaling tenggang rasa, dan mempererat ikatan hubungan sosial.
Santun yang ketiga bertumpu pada aspek psikomotor, pada performance, atau pada keterampilan memanfaatkan kompetensi yang dimiliki agar dapat bermakna dalam berbahasa. Santun yang ketiga ini menyangkut seni berbahasa. Oleh karena itu, upaya meningkatkan kemampuan di bidang ini hanya bisa dilakukan dengan banyak berlatih berbahasa. Latihan bermakna yang paling baik kita ciptakan tidak lain dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi di antara kita. Tentu saja komunikasi yang santun, komunikasi yang saling menghargai minimal kedua pihak yang berkomunikasi, komunikasi yang bisa menjaga keberadaban budaya komunikasi bangsa ini. Bukan komunikasi caci maki atau provokasi.

V. penutup
Sebenarnya hal ini adalah gejala wajar dalam perkembangan bahasa dan akan menjadi sangat sulit diatasi. Namun hal ini akan menjadi tidak wajar, ketika situasi seperi ini. Yaitu ketika bangsa lain mengklaim budaya kita. Respon dari Indonesia sangat “garang”. Kita dengan lantang menunjuk bahwa Indonesia lah yang punya budaya yang indah, cantik, lucu, meggemaskan dan beragam. Pemerintah pun mencanangkan visit Indonesia, semata-mata untuk menarik turis asing datang ke Indonesia.
Para turis berbondong-bondong menuju Indonesia untuk berwisata. Pastinya mereka mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan kosa kata yang baku. Sedangkan di Indonesia sendiri kita tidak memelihara bahasa kita dengan baik. Yang saya takutkan, para turis menggunakan bahasa Indonesia yang baku, kemudian kita menanggapinya dengan bahasa amburadul. Maka hilanglah identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Turis pun tidak mengerti bahasa kita, karena berbeda dengan yang mereka pelajari, yaitu bahasa yang baku. Secara tidak langsung kita telah mengusir turis asing tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan progam visit Indonesia year. Maka seharusnya, walaupun bahasa Indonesia tidak bisa dibendung perkembanganya, kita tetap menjaga kaidah-kaidah bahasa indosia yang baik dan benar. Dengan seperti itu, identitas bangsa kita akan semakin kuat di mata dunia. Sebagai bangsa yang mempunyai beragam budaya yang sangat indah.
Saya menulis artikel ini untuk sekedar bercerita bahwa bahasa dan budaya Indonesia sangat dihargai oleh bangsa lain. Jangan sampai kita, sebagai bangsa yang memiliki bahasa dan budaya tersebut justru tidak peduli atau malah lebih parah, menjunjung tinggi budaya Barat dan melupakan budaya sendiri kitra harus bangga dengan bahasa kita, karena itu adalah budaya dan identitas bangsa Indonesia.







Daftar pustaka
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/artikel-pendidikan/59-bahasa-sebagai-representasi-budaya
http://lidahtinta.wordpress.com/2009/05/30/antara-bahasa-dan-budaya/
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=6986&post=1

koment ya temen2,,,, tak tunggu,,,

1 komentar:

  1. Bahasa yang baik dan bahasa yang benar dalam konteks ini dibedakan atau tidak, Mas?
    Memang benar mengenai campur kode atau alih kode tersebut, namun bukan hanya pada kata-kata 'anak gaul' saja sepertinya, karena memang kadang terdapat kata-kata yang belum dijangkau bahasa Indonesia atau memang belum populer.
    Yooook, populerkan bahasa Indonesia! ;)

    BalasHapus

Label

Cerpen (1) puisi (5)