Senin, 07 Februari 2011

Belajar istigfar

Salah Belajar Istighfar

Suara adzan ashar berkumandang dengan mesra, ketika Munir mencoba kembali membaca kitab Fathul Qorib. Kepalanya dipukul beberapa kali oleh kang Aziz karena ia salah menentukan i’rob dan tasrifan suatu kata. Kitab yang dibawanya adalah warisan dari kang-kang yang lebih dulu mondok di pondok pesantren Al-Itqon. Sebuah pondok dekat dengan jalan pantura, sehingga memudahkan para santrinya untuk membolos sorogan. Sore itu memang hanya ada kang Aziz, Munir, dan seorang santri baru yang belum berani membolos, Tarom namanya, anak kyai mushola yang katanya hafal Al-qur’an dalam satu minggu.
“Kitaba ahkamu thoharotu, utawi iki iku nerangake kitab hukum sesuci”
“Salah!”
“Katibu ahkami thoharoti”
“Salah”
“Lha terus apa bacanya, kang?”
“Kitabu ahkami thoharoti, ngerti?”
“Orak”
“mubtada’ dibaca rafa’, dan seterusnya dibaca majrur”
“Oh”
“Wis, hari ini sorogan cukup sampai halaman ini saja, lhawong baca saja masih glagepan”
Tarom belum diberi kesempatan membaca kitab kuning, karena ia belum berani membaca di depan kang Aziz. Sorogan di pondok ini dilakukan setiap sore, dan selesai saat lantunan Al-qur’an diperdengarkan pertanda akan maghrib, biasanya para santri membaca kitab yang mereka pilih untuk dibaca tanpa harakat dan arti. Munir segera menuju masjid karena ia kebagian jadwal adzan setiap selasa pon. Setiap sore juga para santri putri menyiapkan makanan untuk berbuka bagi santri putri dan putra yang berpuasa. Letak pondok putri, berada di sebelah utara masjid, menghadap keselatan, di depannya ada pohon jambu yang hanya satu buahnya dan banyak ulatnya. Dapur terletak terpisah dari pondok, berada di sebelah barat pondok dengan hanya separo atap. Kegiatan di dapur bisa terlihat jika kita naik ke lantai dua masjid menghadap ke utara.
Kebetulan hari ini Munir berpuasa, ia berencana mengambil makanan terlebih dahulu di dapur dan kemudian dibawa ke masjid. Ia nekat masuk ke dapur, padahal disana banyak sekali santri putri sedang sibuk membagi makanan. Santri putra dan santri putri dilarang bertatap muka. Oleh karena itu, dengan alasan mengambil jatah berbuka, Munir ingin kenal dengan salah satu santri putri.
“Ini kang, makanannya”
“Oh, terimakasih”
“Ifah” terdengar suara memanggil
Ternyata kesempatan itu hanya datang beberapa detik saja. Tapi munir tidak bertepuk sebelah tangan, Ifah namanya. Wanita berjilbab warna coklat muda dengan bordiran bunga melati di tiap ujungnya dan bros kupu-kupu di bawah leher. Bibirnya yang kemerahan dan bulu matanya yang lentik, cocok sekali dengan seragam pondok berwarna kuning muda bertuliskan Arifatul Faizah.
***
Kesibukan di pondok putri masih berlangsung, makanan sudah disiapkan dan santri putra tinggal mengambilnya. Aku langsung kembali ke kamar, ganti baju, kemudian menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sumur terletak di bagian pondok paling belakang, di sampingnya terdapat padasan bulat. Aku mengisi padasan itu dengan air yang kutimba. Kemudian berwudhu.
Adzan maghrib dikumandangkan, sayup-sayup langkah kaki para jama’ah menuju masjid mulai terdengar. Aku langsung mengenakan mukena putih kesayangan tanpa melihat cermin untuk merias diri. Adzan magrib hampir selesai dikumandangkan, sudah sampai kalimat Haya ‘ala shalat. Aku sudah duduk di shaf kedua dari belakang. Ketika adzan telah selesai, aku teringat sandal kesayangan yang dibelikan kakak lupa ditempatkan di penitipan. Aku segera berdiri kemudian menuju luar masjid untuk mengambil sandal. Karena biasanya, sandal baru langsung hilang jika dibiarkan.
“Astaghfirullah!”
Suara itu tiba-tiba terdengar dari speaker masjid, persis di samping pintu sebelah kanan. Jamaah masjid semuanya kaget, karena biasanya setelah adzan adalah doa, tapi kali ini malah bacaan istighfar, suaranya keras pula. Setelah kejadian itu, imam masjid langsung datang. Ia langsung menyuruh untuk iqomat. Imam kali ini adalah pengasuh pondok pesantren Al-Itqon, biasanya imam masjid selalu menabuh kentongan terlebih dahulu sebelum masuk masjid, sebagai pertanda shalat akan segera dilaksanakan.
Shalat magrib telah selesai. Para jamaah bersiap meninggalkan masjid. Aku segera melipat sajadahku yang sudah terlihat pudar warna merahnya. Dari kejauhan terlihat para santri putra bercanda dengan saling melempar peci atau sekedar menarik sarung. Aku teringat santri putra tadi yang mengambil makanan sebelum maghrib. Mungkin ia berada di tengah kerumunan santri putra itu. Sambil merangkulkan sajadah ke bahu, Aku meninggalkan masjid Baiturrahman.
***
Hari ini, Kamis kliwon, suasana tiap sore di pondok putra masih sama seperti biasanya. Namun tidak terlihat ada Munir di sorogan kali ini. Ia bolos sorogan. Ia tidur-tiduran di masjid sambil melamun, entah apa yang ia pikirkan. Tepat pukul lima, mulai terdengar para santri putri yang menyiapkan makanan. Segera ia berdiri dan memandangi kesibukan di dapur dari lantai dua masjid. Ia melihat ifah, gadis yang ia temui kemarin. Wajahnya begitu menyegarkan hati. Sepertinya Munir sudah mengetahui jika Ifah akan terlihat di sana.
Suara bacaan Al-qur’an mulai dilantunkan, dari kaset bajakan yang banyak dijajakan di pasar sore. Munir turun dari lantai dua, tampaknya ia terburu-buru. Di dapur juga ada aku, aku disuruh mbak putri untuk mengambil piring kotor kemarin, karena santri putra belum mengembalikanya. Setibanya di belakang masjid, aku dicegat Munir, sendirian. Aku mulai takut ketika ia memandangku begitu serius. Seakan-akan ia ingin melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan. Ia mulai berkata.
“Maaf mengganggu”
“Iya, ada apa kang?”
“Em, maaf”
“Ada apa ya? Saya sedang sibuk, kalau mau ngomong, langsung saja. Sebelum ketahuan pengurus”
“Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa yang membaca istighfar dua hari yang lalu adalah aku”
“Oh itu, kamu lucu..”
“Bukan itu”
“Lha terus apa”
“ Kamu harus tahu, kenapa aku membaca istighfar keras banget”
“Kenapa?”
“Karena aku memikirkan seseorang yang bukan muhrimku, yaitu kamu,
Arifatul faizah”
“Maaf, kamu salah orang, kemarin aku meminjam baju milik Ifah”
***
Aku sedang menguras kolam seluruh kamar mandi, ketika aku mendengar bahwa Munir dicukur habis rambutnya dan disuruh menguras WC.




Zulfa Fahmy
9 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Cerpen (1) puisi (5)