Beberapa minggu lalu, saya menjadi juri
lomba “Puitisasi Alquran”. Pada mulanya saya mengira bahwa ini lomba tulis puisi
yang terinspirasi dari ayat Alquran. Namun panitia mengatakan ini lomba baca
puisi. Saya mengiyakan tanpa banyak tanya tentang teknis lomba (karena saya
sudah pengalaman teknis lomba baca puisi). Sesampainya di tempat lomba,
ternyata peserta lombanya adalah “santri” Madrasah Diniyah se-Kabupaten Kendal.
Lalu, saya bertanya kepada panitia materi puisi yang dijadikan lomba. Namun, panitia
tidak menyediakannya. Katanya materi puisi dibawa sendiri oleh peserta. Sampai
pada titik ini, akhirnya saya bertanya tentang format lomba “Puitisasi Puisi”
ini. Ternyata ini adalah lomba membaca terjemah Alquran (sari tilawah) dengan
pembacaan yang puitis. Karena saya tidak ingin repot-repot tentang penggunaan
istilah “Puitisasi Alquran”, saya mengiyakan untuk langsung saja lomba
dilaksanakan.
Peserta pertama tampil dengan membaca
terjemah surat Al-Zalzalah. Dengan perhatian penuh, saya menikmati pembacaan seorang
anak yang umurnya taklebih dari 10 tahun. Ia membaca dengan lantang dan
artikulasi yang jelas. Peserta kedua membaca terjemah surat Al-Alaq. Kali ini
ia membaca dengan nada yang halus, penuh penjiwaan, dan fokus mata yang luar
biasa. Keterpukauan saya ini berlanjut sampai peserta selanjutnya.
Lomba
ini menyadarkan saya bahwa apapun bisa dibaca secara estetis puitis. Sari
tilawah yang selama ini dibaca secara “biasa” kali ini ditampilkan secara
puitis dan estetis. Saya nyatakan ini “GILA”. Bayangkan, yang dibacakan oleh
mereka adalah firman Allah SWT. Menurut saya sebuah firman harus dibaca secara
syahdu agar kesan yang muncul pun “khusuk”. Namun anggapan saya ini
terbantahkan oleh saya sendiri. Ternyata cara pembacaan sari tilawah yang
“seperti ini” mempunyai efek yang lebih dahsyat dari pada sekadar dibaca biasa.
Berdasarkan
pengetahuan saya tentang seni baca puisi, yang terpenting dalam sebuah seni
pertunjukan puisi adalah ketersampaian pesan. Keteresampaian pesan ini dapat
dilakukan dengan teknik produksi suara, kelantangan suara, artikulasi,
intonasi, dan teknik bina klimaks-klimaks. Semua teknik itu akan membangun
suasana agar pesan dapat tersampaikan secara sempurna.
Nah,
“Puitisasi Alquran” ini mempunyai efek tonjok yang luar biasa. Bayangkan ketika
seoarang anak kecil membaca Al-zalzalah (kegoncangan) “Apabila bumi digoncangkan
(yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya, dan manusia
bertanya mengapa bumi jadi begini? Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan yang seperti itu kepadanya,
pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam,
supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” Q.S Al-Zalzalah
1-6.
Saya
teringat pada “Tadarus” Gus Mus, yang hampir sama menyajikan ayat-ayat alquran
dalam bentuk pertunjukan puisi yang sangat menyentuh. Masih juga teringat jelas,
Nana Rhiski Susanti, (17 Agustus 2010) membaca pembukaan UUD 1945 dengan gaya
puitis. Kalian tahu? Efeknya juga luar biasa. Memang terdengar aneh bagi
beberapa orang, tetapi disadari atau tidak, mereka menyimak sepenuhnya dari
awal pembacaan sampai akhir. Ini mungkin saja tidak terjadi jika pembukaan UUD
45 dibacakan secara “kaku” seperti biasa, bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
Pada titik ini saya sepenuhnya sadar
bahwa semua bisa dibaca secara puitis. Iya, Semua! Firman tuhan saja bisa,
kenapa tidak dengan karya manusia? Jika kalian sudah bosan dengan pembacaan
teks pancasila yang begitu saja, atau jika kalian suntuk dengan pembacaan
pembukaan UUD 45, kalian boleh memodifikasi sajiannya. Asalkan, pesan
(makna/maksud) tersampaikan dengan sempurna!