Minggu, 13 Februari 2011

BAHASA INDONESIA SEBAGAI PONDASI DASAR PEMERTAHANAN BUDAYA BANGSA INDONESIA

Salah satu masalah utama dalam bidang kebudayan adalah masalah identitas kebangsaan. Dengan derasnya arus globalisasi dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya bangsa indonesia agar menjadi bagian integratif dalam pergaulan remaja indonesia. Beberapa hal yang termasuk budaya diantaranya adalah bahasa. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengemukakan pentingnya menjadikan bahasa indonesia sebagai pondasi dasar dalam pemertahanan budaya bangsa. Hal ini dilakukan sebagai perlaawanan untuk mencegah istilah-istilah asing yang dapat merusak kaidah bahasa indonesia. Pada akhirnya, bahasa Indonesia sebagai pondasi dasar dalam pemertahanan budaya bangsa diharapkan akan mengimbangi pengaruh bangsa asing yang semakin mewabah di masyarakat kita.
Kata kunci : bahasa Indonesia, budaya bangsa, identitas
I. Pendahuluan
Disaat kita benar benar marah karena banyak ragam budaya Indonesia yang diklaim bangsa lain, kita malah melupakan salah satu universal culture, yaitu bahasa. Terkadang orang-orang lebih mementingkan wujud budaya yang berupa benda atau yang dapat dilihat. Sedangkan wujud budaya yang tidak berwujud, seperti bahasa, dipandang sebelah mata. Bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Dengan menujukan bahasanya orang lain dapat mengenal kita dari mana berasal.
Apakah bahasa menunjukkan budaya? Logika akan menjawab, ya. Dasar pemikirannya adalah, pertama, bahasa itu alat ekspresi pemakainya. Ekspresi itu muncul karena ada dasar pengetahuan, sikap, dan minat, yang kemudian diolah oleh cara berpikir penggunanya. Dengan demikian, bahasa sebagai media pengekspresi akan diwarnai oleh pengetahuan, sikap, minat, dan cara berpikir pemakainya.
Pengetahuan akan mengisi makna, sikap dan minat akan menentukan pilihan kata, dan cara berpikir akan mengatur strategi berbahasa.
Logika di atas pada intinya menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan seseorang bisa menunjukkan siapa seseorang itu. Tetapi apakah itu berarti bahasa suatu bangsa bisa merepresentasikan budaya bangsa itu ?

II. Campur kode dan alih kode bahasa Indonesia VS bahasa inggris

Bahasa memang berkembang sesuai dengan dinamisnya keadaan masyarakat pemakai bahasa. Dalam hal ini, adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia semakin lama semakin berkembang. Hal ini adalah dampak dari kemajuan teknologi, dan factor lain yang mempengaruhinya. Perkembangan bahasa Indonesia sangat cepat, setiap hari banyak sekali kosa kata asing yang masuk dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mempunyai sifat dapat menyerap bahasa asing dan menjadikanya bahasa Indonesia. Maka dari itulah muncul kosa kata asing yang dipakai dalam masyarakat.
Banyak sekali orang yang mencampur adukan antara bahasa Indonesia dengan kosa kata bahasa inggris. Contoh :
“Bro, dinner yuk,,”
“kamu sudah download file yang ini?”
“entar kalau sudah pasti, langsung confirm ya,,”
“setelah ini kita mau chek-in di hotel”
Masih banyak contoh yang lainya. Terlihat juga dalam pemakaian bahasa Indonesia ragam resmi tidak digunakan secara baik. Kata “entar” sebenarnya bukan kata baku bahasa Indonesia, namun kata ini telah popular dipakai oleh penutur bahasa. Kosa kata-kosa kata asing itu digunakan karena seseorang lebih familiar dara pada kosa kata bahasa Indonesia yang ada. Di samping itu ada kesan gengsi tersendiri bila menggunakan kosa kata inggris.
Suatu hal yang sangat ironi, ketika bangsa lain berusaha mempelajari bahasa Indonesia, kita malah kita malah merusak bahasa kita sendiri. Di Australia, bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran tambahan. Di sana diajarkan bahasa Indonesia yang baku, dan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang penulis takutkan, ketika mereka terjun ke Indonesia langsung, mereka akan terkejut bahwa bahasa Indonesia berkembang campur aduk.

III. Dampak dari gejala ini?
Ada dua dampak dari perkembangan dan penyerapan bahasa asing ini, dampak positif dan dampak negative. Dampak positifnya meliputi dua hal. Pertama, dengan gejala bahasa ini bahasa Indonesia semakin kaya dengan kosa kata baru. Dengan kosa kata baru ini, (kedua) maka bahasa Indonesia dapat mengikuti perkembangan jaman dunia, baik dalam teknologi maupun ilmu pengetahuan. Masyarakat penutur bahasa Indonesia juga akan dapat mengerti jika kosa kata tersebut digunakan. Dengan semakin banyaknya kosa kata bahasa Indonesia, maka semakin kayanya bangsa kita.
Dampak negatifnya juga meliputi dua hal. Pertama dengan berkembang dan semakin bertambah kosa kata kita, maka terkadang masyarakat penutur bahasa lebih sering menggunakan kosa kata baru. Dampak dari hal itu, tatanan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan terusak denagn sendirinya tanpa disadari. Terkadang kosa kata yang telah ada dalam bahasa Indonesia diabaikan, dan memilih menggunakan istilah asung untuk mengungkapkanya. Susunan kalimatnya pun akan berubah dengan sendirinya. Kerusakan tatanan bahasa ini juga dipengaruhi oleh beragamnya bahasa daerah yang melatar belakangi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Terkadang mereka memakai tata bahasa daerah untuk diucapkan dalam bahasa Indonesia.

IV. Bagaimana mengatasinya?
Caranya adalah Santun Berbahasa. Kalau bahasa mencerminkan budaya, atau setidaknya cara berbahasa kita mencerminkan siapa sebenarnya kita, maka satu-satunya cara menjaga ‘kehormatan’ diri kita dari sisi yang berkaitan dengan bahasa adalah berusaha selalu santun dalam berbahasa.
Setidaknya ada tiga santun yang bisa kita rumuskan sebagai implikasi kesimpulan di atas. Tiga santun itu adalah, santun dalam mengisi makna bahasa yang kita tuturkan; santun dalam memilah dan memilih diksi sesuai dengan konvensi konteks; serta santun dalam mengatur strategi bertutur.
Santun yang pertama bertumpu pada aspek kognitif, pada keluasan wawasan dan kedalaman pemahaman tentang sesuatu yang kita bicarakan. Santun dalam konteks ini akan mampu menghasilkan bahasa yang bernas, atau menurut istilah Prof. Yus Rusyana, ‘bahasa yang bergizi’. Setiap lawan bicara akan mendapat manfaan dari apa yang kita ucapkan. Pepatah yang mengatakan,” Orang bijak akan berpikir seribu kali untuk berbicara sekali, sedangkan orang sesat akan berbicara seribu kali hanya dengan berpikir sekali.” Atau bunyi hadits yang menyatakan “Diam itu emas, dan bicara benar itu perak” sangat relevan dengan santun pertama ini.
Santun yang kedua bertumpu pada aspek afektif, pada kepekaan menghayati nilai-nilai moral dan konvensi etika ketika berbahasa. Orang yang mampu santun dalam aspek ini akan membuat lawan bicaranya nyaman ketika berkomunikasi, tidak ada rasa takut, tersinggung, atau takut dipermalukan. Tiap daerah, tiap wilayah, tiap komunitas, bahkan tiap individu memiliki keunikan dalam memahami nilai-nilai moral dan etika berbahasa. Keberagagam ciri khas tersebut menuntut kepekaan kita dalam membaca bahasa isyarat selain bahasa literal, makna tersirat selain makna tersurat. Pola bertutur bangsa kita yang lebih senang berputar-putar sebagaimana dikemukakan Kaplan di atas, sebenarnya merupakan kesantunan afektif yang diwariskan para leluhur kita. Pola itu sengaja dibuat untuk menciptakan kenyamanan dalam berkomunikasi, menjaling tenggang rasa, dan mempererat ikatan hubungan sosial.
Santun yang ketiga bertumpu pada aspek psikomotor, pada performance, atau pada keterampilan memanfaatkan kompetensi yang dimiliki agar dapat bermakna dalam berbahasa. Santun yang ketiga ini menyangkut seni berbahasa. Oleh karena itu, upaya meningkatkan kemampuan di bidang ini hanya bisa dilakukan dengan banyak berlatih berbahasa. Latihan bermakna yang paling baik kita ciptakan tidak lain dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi di antara kita. Tentu saja komunikasi yang santun, komunikasi yang saling menghargai minimal kedua pihak yang berkomunikasi, komunikasi yang bisa menjaga keberadaban budaya komunikasi bangsa ini. Bukan komunikasi caci maki atau provokasi.

V. penutup
Sebenarnya hal ini adalah gejala wajar dalam perkembangan bahasa dan akan menjadi sangat sulit diatasi. Namun hal ini akan menjadi tidak wajar, ketika situasi seperi ini. Yaitu ketika bangsa lain mengklaim budaya kita. Respon dari Indonesia sangat “garang”. Kita dengan lantang menunjuk bahwa Indonesia lah yang punya budaya yang indah, cantik, lucu, meggemaskan dan beragam. Pemerintah pun mencanangkan visit Indonesia, semata-mata untuk menarik turis asing datang ke Indonesia.
Para turis berbondong-bondong menuju Indonesia untuk berwisata. Pastinya mereka mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan kosa kata yang baku. Sedangkan di Indonesia sendiri kita tidak memelihara bahasa kita dengan baik. Yang saya takutkan, para turis menggunakan bahasa Indonesia yang baku, kemudian kita menanggapinya dengan bahasa amburadul. Maka hilanglah identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Turis pun tidak mengerti bahasa kita, karena berbeda dengan yang mereka pelajari, yaitu bahasa yang baku. Secara tidak langsung kita telah mengusir turis asing tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan progam visit Indonesia year. Maka seharusnya, walaupun bahasa Indonesia tidak bisa dibendung perkembanganya, kita tetap menjaga kaidah-kaidah bahasa indosia yang baik dan benar. Dengan seperti itu, identitas bangsa kita akan semakin kuat di mata dunia. Sebagai bangsa yang mempunyai beragam budaya yang sangat indah.
Saya menulis artikel ini untuk sekedar bercerita bahwa bahasa dan budaya Indonesia sangat dihargai oleh bangsa lain. Jangan sampai kita, sebagai bangsa yang memiliki bahasa dan budaya tersebut justru tidak peduli atau malah lebih parah, menjunjung tinggi budaya Barat dan melupakan budaya sendiri kitra harus bangga dengan bahasa kita, karena itu adalah budaya dan identitas bangsa Indonesia.







Daftar pustaka
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/artikel-pendidikan/59-bahasa-sebagai-representasi-budaya
http://lidahtinta.wordpress.com/2009/05/30/antara-bahasa-dan-budaya/
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=6986&post=1

koment ya temen2,,,, tak tunggu,,,

Malu?

Nasionalisme? Masih adakah dalam jiwa anak-anak bangsa? Pertanyaan itulah yang sekarang membutuhkan jawaban yang jujur dari hati nurani kita masing-masing. Bukan dijawab dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang benar. Bahkan para pengamat menilai rasa cinta tanah air di kalangan masyarakat luas hingga pemimpin bangsa sudah menurun, hal ini disebabkan karena aspek kebudayaan bangsa Indonesia yang lemah.
Kebudayaan yang seharusnya kita junjung tinggi dan harus dilestarikan perlahan mulai kita lupakan, tergantikan dengan kecanggihan zaman. Anak-anak kecil tak lagi main petak umpet, grobag sodor, belajar membatik, belajar menari daerah dan kesenian daerah lainya. Mereka lebih memilih play station, les balet, dance, dan wahana ceria seperti dunia fantasi. Para remaja kita tak mau lagi bersentuhan dengan batik ataupun kebaya. Mungkin masih ada, tapi jumlah itu sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.
Lalu mengapa kita sekarang berteriak-teriak lantang namun tak memberikan hasil apa-apa ketika angklung, batik, reog ponorogo, bahkan tempe dipamerkan malaisia dihadapan dunia dan diklaim sebagai identitas Malaysia. Apakah kita selama ini bangga dengan kebudayan kita, apakah kita lebih memilih tempe dari pada burger atau pizza? Apakah kita lebih memilih batik dan kebaya dari pada tang-top atau celana jeans? Atau kita lebih memilih menari jaipong dari pada nge-dance? Lali mengapa kita harus marah karena hal itu?
Mungkinkah rasa nasionalisme kita akan bangkit kembali atau kita mulai sadar akan kesalahan kita. Kebudayaan gotong royong, bersatu padu muncul kembali dalam protes atas pengklaiman kebudayaan yang kita “rasa” miliki. Sebaiknya kita berbenah diri untuk menuju gerbang baru, lembaran naru dari suatu perjalanan hidup bangsa kita setelah merdeka, merdeka yang riil bukan abstraksi belaka.

jangan lupa koment ya,,,,

Jumat, 11 Februari 2011

Kenangan SD

Aku masih inget seorang teman SD, Namanya Linda Mustika Widiatno. Temen-temen biasa memanggilnaya Linda. Menurutku Linda adalah cewek tercantik waktu itu. Rambutnya panjang, lurus, senyumnya manis, dan cukup baik hati. Memang Linda tak secantik Nikita Willy atau Donita. Tapi lebih cantik lah, kalau dibandingin ama Siren Sungkar. Kulitnya putih langsat. Yang paling ngangeni darinya adalah tahi lalatnya. Terletak dibawah bibir, sebelah kanan. Mungil, manis dan imut banget.
Sewaktu dulu, cintanya anak SD hanya sekadar guyonan. Ada saja hal-hal yang sering kuingat, misalnya pagi-pagi selalu ada gambar hati dipanah, dan di tengahnya ada tulisan nama seorang. Contohnya, Sobirin love Dwi. Ada-ada saja anak SD udah kenal cinta.
Kembali ngomongin Linda, aku mash inget, dulu waktu kelas satu, aku pernah satu bangku sama dia. Rasanya berdebar-debar duduk deket dia. Aku, cowok kurang popular di SD, sebangku dengan cewek paling cantik di kelas itu. Hehehehe… Tapi, ini terjadi selama satu Cawu (tiga bulan). Kelas dua sampai kelas enam, tak pernah lagi duduk berdua semacam itu.
Linda adalah seorang guru SD, bapaknya juga mengajar di kelas kami, namanya pak Yatno. Huuuu,,, bapaknya kalau ngajar menenggangkan. Anak-anak SD dibuat gemeter didepanya. Yah, tapi kuakui cara mengajar beliau cukup bagus lah,,,,
Hem,,, sekarang aku tak tak tahu lagi tentang dia. Sejak lulusan SD, aku tak lagi menemuinya. Ku dengar kabar bahwa dia telah menikah. Tapi entah benar atau tidak,,,, ya undanganya nggak nyampe ke rumahku.
Wasalam,,,, ini tulisan awal, selanjutnya bakal kutilis kalo sudah dapet kabar tentang dia. Oke.

Senin, 07 Februari 2011

Belajar istigfar

Salah Belajar Istighfar

Suara adzan ashar berkumandang dengan mesra, ketika Munir mencoba kembali membaca kitab Fathul Qorib. Kepalanya dipukul beberapa kali oleh kang Aziz karena ia salah menentukan i’rob dan tasrifan suatu kata. Kitab yang dibawanya adalah warisan dari kang-kang yang lebih dulu mondok di pondok pesantren Al-Itqon. Sebuah pondok dekat dengan jalan pantura, sehingga memudahkan para santrinya untuk membolos sorogan. Sore itu memang hanya ada kang Aziz, Munir, dan seorang santri baru yang belum berani membolos, Tarom namanya, anak kyai mushola yang katanya hafal Al-qur’an dalam satu minggu.
“Kitaba ahkamu thoharotu, utawi iki iku nerangake kitab hukum sesuci”
“Salah!”
“Katibu ahkami thoharoti”
“Salah”
“Lha terus apa bacanya, kang?”
“Kitabu ahkami thoharoti, ngerti?”
“Orak”
“mubtada’ dibaca rafa’, dan seterusnya dibaca majrur”
“Oh”
“Wis, hari ini sorogan cukup sampai halaman ini saja, lhawong baca saja masih glagepan”
Tarom belum diberi kesempatan membaca kitab kuning, karena ia belum berani membaca di depan kang Aziz. Sorogan di pondok ini dilakukan setiap sore, dan selesai saat lantunan Al-qur’an diperdengarkan pertanda akan maghrib, biasanya para santri membaca kitab yang mereka pilih untuk dibaca tanpa harakat dan arti. Munir segera menuju masjid karena ia kebagian jadwal adzan setiap selasa pon. Setiap sore juga para santri putri menyiapkan makanan untuk berbuka bagi santri putri dan putra yang berpuasa. Letak pondok putri, berada di sebelah utara masjid, menghadap keselatan, di depannya ada pohon jambu yang hanya satu buahnya dan banyak ulatnya. Dapur terletak terpisah dari pondok, berada di sebelah barat pondok dengan hanya separo atap. Kegiatan di dapur bisa terlihat jika kita naik ke lantai dua masjid menghadap ke utara.
Kebetulan hari ini Munir berpuasa, ia berencana mengambil makanan terlebih dahulu di dapur dan kemudian dibawa ke masjid. Ia nekat masuk ke dapur, padahal disana banyak sekali santri putri sedang sibuk membagi makanan. Santri putra dan santri putri dilarang bertatap muka. Oleh karena itu, dengan alasan mengambil jatah berbuka, Munir ingin kenal dengan salah satu santri putri.
“Ini kang, makanannya”
“Oh, terimakasih”
“Ifah” terdengar suara memanggil
Ternyata kesempatan itu hanya datang beberapa detik saja. Tapi munir tidak bertepuk sebelah tangan, Ifah namanya. Wanita berjilbab warna coklat muda dengan bordiran bunga melati di tiap ujungnya dan bros kupu-kupu di bawah leher. Bibirnya yang kemerahan dan bulu matanya yang lentik, cocok sekali dengan seragam pondok berwarna kuning muda bertuliskan Arifatul Faizah.
***
Kesibukan di pondok putri masih berlangsung, makanan sudah disiapkan dan santri putra tinggal mengambilnya. Aku langsung kembali ke kamar, ganti baju, kemudian menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sumur terletak di bagian pondok paling belakang, di sampingnya terdapat padasan bulat. Aku mengisi padasan itu dengan air yang kutimba. Kemudian berwudhu.
Adzan maghrib dikumandangkan, sayup-sayup langkah kaki para jama’ah menuju masjid mulai terdengar. Aku langsung mengenakan mukena putih kesayangan tanpa melihat cermin untuk merias diri. Adzan magrib hampir selesai dikumandangkan, sudah sampai kalimat Haya ‘ala shalat. Aku sudah duduk di shaf kedua dari belakang. Ketika adzan telah selesai, aku teringat sandal kesayangan yang dibelikan kakak lupa ditempatkan di penitipan. Aku segera berdiri kemudian menuju luar masjid untuk mengambil sandal. Karena biasanya, sandal baru langsung hilang jika dibiarkan.
“Astaghfirullah!”
Suara itu tiba-tiba terdengar dari speaker masjid, persis di samping pintu sebelah kanan. Jamaah masjid semuanya kaget, karena biasanya setelah adzan adalah doa, tapi kali ini malah bacaan istighfar, suaranya keras pula. Setelah kejadian itu, imam masjid langsung datang. Ia langsung menyuruh untuk iqomat. Imam kali ini adalah pengasuh pondok pesantren Al-Itqon, biasanya imam masjid selalu menabuh kentongan terlebih dahulu sebelum masuk masjid, sebagai pertanda shalat akan segera dilaksanakan.
Shalat magrib telah selesai. Para jamaah bersiap meninggalkan masjid. Aku segera melipat sajadahku yang sudah terlihat pudar warna merahnya. Dari kejauhan terlihat para santri putra bercanda dengan saling melempar peci atau sekedar menarik sarung. Aku teringat santri putra tadi yang mengambil makanan sebelum maghrib. Mungkin ia berada di tengah kerumunan santri putra itu. Sambil merangkulkan sajadah ke bahu, Aku meninggalkan masjid Baiturrahman.
***
Hari ini, Kamis kliwon, suasana tiap sore di pondok putra masih sama seperti biasanya. Namun tidak terlihat ada Munir di sorogan kali ini. Ia bolos sorogan. Ia tidur-tiduran di masjid sambil melamun, entah apa yang ia pikirkan. Tepat pukul lima, mulai terdengar para santri putri yang menyiapkan makanan. Segera ia berdiri dan memandangi kesibukan di dapur dari lantai dua masjid. Ia melihat ifah, gadis yang ia temui kemarin. Wajahnya begitu menyegarkan hati. Sepertinya Munir sudah mengetahui jika Ifah akan terlihat di sana.
Suara bacaan Al-qur’an mulai dilantunkan, dari kaset bajakan yang banyak dijajakan di pasar sore. Munir turun dari lantai dua, tampaknya ia terburu-buru. Di dapur juga ada aku, aku disuruh mbak putri untuk mengambil piring kotor kemarin, karena santri putra belum mengembalikanya. Setibanya di belakang masjid, aku dicegat Munir, sendirian. Aku mulai takut ketika ia memandangku begitu serius. Seakan-akan ia ingin melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan. Ia mulai berkata.
“Maaf mengganggu”
“Iya, ada apa kang?”
“Em, maaf”
“Ada apa ya? Saya sedang sibuk, kalau mau ngomong, langsung saja. Sebelum ketahuan pengurus”
“Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa yang membaca istighfar dua hari yang lalu adalah aku”
“Oh itu, kamu lucu..”
“Bukan itu”
“Lha terus apa”
“ Kamu harus tahu, kenapa aku membaca istighfar keras banget”
“Kenapa?”
“Karena aku memikirkan seseorang yang bukan muhrimku, yaitu kamu,
Arifatul faizah”
“Maaf, kamu salah orang, kemarin aku meminjam baju milik Ifah”
***
Aku sedang menguras kolam seluruh kamar mandi, ketika aku mendengar bahwa Munir dicukur habis rambutnya dan disuruh menguras WC.




Zulfa Fahmy
9 Oktober 2008

Minggu, 06 Februari 2011

Menulis dengan air

Satu : bingung memulai?
Menuang air ke dalam gelas
Sekilas anda akan sedikit bingung, apa hubungan antara menulis dengan menuang air ke dalam gelas. Tentu saja ini tidak diartikan secara harfiah saja. Menulis sama halnya dengan menuang air ke dalam gelas. Ini adalah analogi yang paling mudah untuk menjelaskna gampangnya menulis. Daam hal ini menulis cerpen pun sama halnya menuangkan air ke dalam gelas.
Banyak anggapan bahwa menulis cerpen itu sulit. Anda tidak tahu kapan akan memulai cerita sebuah cerpen. Anda kebingungan untuk memualia cerita dari mana. Bahkan suatu waktu, anda berpikir untuk tertarik menulis cerpen, tapi anda tidak punya ide. Atau anda kurang yakin akan ide anda. Anda beragnggapan ide ini terlalu mudah atau terlalu sederhana.
Jangan putus asa begitu saja, yakinlah bahwa setiap tulisan/cerita yang anda buat alkan bermanfaat setidaknya bagi anda sendiri. Dengan perbaikan itu anda akan semakin yakin untuk meneruskan cerita anda. Percayalah bahwa tulisan itu akan dibaca seseorang suatu saat. Percayalah bahwa tulisan/cerpen anda akan menjadi nikmat untuk dibaca.
Menulis sebuah cerpen memang memerlukan ide yang bagus dan terstruktur. Dalam sebuah cerpen setidaknya ada sebua alur yang jelas dan dipahami pembaca. Cara bercerita pun menjadi unsur terkuat agar tulisan menarik. setelah ide didapat maka anda akn memulai dengan lancer.
Setiap penulis pemula, biasanya mempunyai masalah yang sama, yaitu bergantung pada mood. Penulis pemula terkesan menunggu ide, dari pada mencari ide. Atau mungkin merekan sudah mencari ide, tapi sulit menemukanya. Masalah-masalah inilah yang menyebabkan penulis pemula malas untuk meneruskan bakat menulisnya. Kebanyakan merekan hanya terhenti menulis saat ide tidak dating. Merekan menunggu mood dating. Sekarang pertanyaanya, kapan ide itu dating kepada anda?
Menulis cerpen adalah kegiatan menuangkan ide ke dalam sebuah cerita. Menulis erat kaitanya dengan mencurahkan segala apa yang ada di dalam otak, ke dalam kata-kata. Kata-kata harus disusun secara sempurna, agar menghasilkan bahasa yang indah dan nikmat.
Nah, sekarang, jika ide tidak muncul/sulit muncul, maka yang dapat andsa lakukan adalah menulis terus-menerus. Dengan menulis terus menerus, tidak menutup kemunkinan bahwa ide itu akan muncul ketika anda sedang menulis.
Sama halnya dengan menuang air ke dalam sebuah gelas. Jika air terus dituangkan, maka gelas tak mampu menampung air dan akan menumpahkanya keluar. Kita ibaratkan bahwa air itu adalah ide anda, sedangkan gelas adalah otak anda dan menuangkan air adalah kegiatan menulis anda. Maka jika anda terlalu sering menulis, ide dari otak anda akan muncul dengan mudah tanpa terhalang suatu apapun. Maka dari itu, menulis sama halnya dengan menuang air ke dalam sebuah gelas. Air kan tumpah dengan mudak jika anda terus menuangkanya, ide akan mudak keluar jika anda sering menuliskanya.
Jadi, kapan anda akan memulai untuk menulis? “Saat ini!”
Mulailah dari diri anda sendiri
Mulailah dari konsep sederhana
Dan mulailah saat ini.

diskusikan dengan penulis, disini.

Label

Cerpen (1) puisi (5)